6 Words

I never allowed him to say “Good bye” cause saying good bye will kill the opportunity to meet again, that’s why he always says

“See you when I see you”

-and makes me love him even more-

Entah

Ada sepotong langit yang terperangkap di sepasang senyummu. Memberi teduh bagai rombongan awan yang menyangga matahari.

Kita masih sepasang cerita tanpa akhir. Dalam butir-butir hujan yang hampir lahir.

Ada percik anak sungai pada genggaman tanganmu. Memberi nyaman pada ikan-ikan yang merenangi perasaan. Aku meringkuk dalam sandaran. Kau memeluk dengan sikap paling manis yang pernah kurasakan.

Kita adalah jalan setapak di semak-semak. Membelah belukar untuk membantu membuka jalan para pengelana.

Aku seikat mawar yang tercuri dari halaman istana. Kau segumpal resah yang dimimpikan para raja. 

Kita bertemu dalam secangkir kopi. Yang dicecap pengembara tua pada sore hari.

Kitalah entah tanpa teka-teki.

Karena Kamu

lay on the bed
Ada masa di mana aku hanya berbaring hampir telanjang di atas tempat tidur yang dikelilingi barang-barang yang terdampar tidak pada tempatnya. Dan di tengah kekacauan yang kalian kira menyesakkan itu, ada hal yang lebih kacau lagi memporak-porandakan pikiran yang kusut. Dalam keadaan setengah telanjang yang jauh dari definisi indah, seikat pikiran kusut menjelma bijak. Waktu itu aku sedang putus cinta. Atau baru sadar kalau aku putus cinta padahal mungkin cinta sudah lama pergi darinya yang sungguh kurang ajar itu. Ternyata putus cinta terkadang membuat manusia ingin cepat mati. Kalian benar teman, putus cinta itu sesaknya sungguh parah.

Dua tahun kulalui dengan getir. Saat itu yang aku tahu bahwa tak apa untuk menjadi cengeng, air mata begitu mudah tumpah. Jauh sebelum aku tahu bahwa air mata adalah pertanda lemah. Yang mungkin membuat orang-orang menertawakan dan memperolokku. Sejak saat itu, menangis kusembunyikan dalam-dalam di koper berkunci di dalam hatiku. Aku hanya menangis jika tak ada orang. Aku hanya menangis saat mandi sambil kubiarkan air mata luruh bersama air dari pancuran. Aku perlahan menjadi perempuan yang tidak cengeng meski memiliki sakit hati yang parah terhadap kehidupan. Tidak menangis membuat hatiku beku dalam benci yang aku nina bobokkan sendiri. Tidak menangis menjadikanku kurang manusia yang isi kepalanya digerogoti benci terhadap apa saja yang tak kuanggap pantas.

patchwork
Tanpa pertanda, aku bertemu denganmu yang kemudian bisa mencairkan kebekuanku. Kamu ada bersama bulan-bulan yang panjang tempatku menyembuhkan lara. Saat aku menulis ini aku sedang menggenggam hatiku demikian eratnya. Aku takut hatiku melompat dan tak bisa kembali ke tempat asalnya. Debaran yang mengumpat namamu tak berhenti sedari tadi. Memberikan sesak yang terlalu pasti untuk kuingkari. Sore ini aku sedang dibungkus hangat mengingat tepat di hari ini, tiga tahun yang lalu kamu mengecupku dengan lembut. Senyum canggungku membuatmu mengecup sekali lagi. Setelah sekian lama, aku merasakan lagi apa yang mereka sebut: jatuh cinta.

step
Dan ya.. Apapun konotasinya, jatuh selalu menyakitkan. Karena kamu, yang yang telah menyatukan serpihan hatiku yang tersisa pun menghancurkannya seketika. Kamu yang membuatku jatuh cinta dan patah hati sekaligus. Yang membuatku menggenggam namun melepaskan. Yang membuatku menemukan tanpa tahu apa yang sudah hilang. Karena kamu, kali ini aku tak melibatkan segala gengsi. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu dalam segala kurang dan lebih. Dalam segala tawa dan kekonyolan khasmu, dalam segala sedih dan isakku, dalam segala menang dan kalah, dalam segala bangkit dan jatuh.

Terima kasih telah menyadarkan bahwa hidup itu selalu indah walau penuh dengan adegan retorika romantis maupun tragisnya. Terima kasih untuk semua detik yang kamu sediakan untuk menemaniku. Terima kasih untuk segala kesabaran saat bersamaku. Terima kasih telah membantuku bangkit dari segala getir.

“Karena aku mencintaimu, bahkan kebencianku pun mencintaimu..”

25 Juni 2014

Saat Kau Terlelap

Gambar

Angin menempa dingin pada wajahmu yang lugu. Lelap memberi damai pada wajahmu yang biasanya beringas saat didera kemelut. Kutatap kau yang diam di atas bantal. Lelahmu terpancar dari sepasang matamu yang tertutup diam. Bibirmu kering, sisa kecupan masih melekat di sana. Dalam tidurmu kau menjelma bayi yang dicintai semua orang. Lucu tanpa akhir, jenaka penuh cinta.

Sesekali matamu mengerjap. Mungkin kau sedang bermimpi dikejar setan atau di bawah sadar sana kau sedang bercinta dengan imajinasimu yang tak pernah dapat kugapai. Apapun itu memandangimu tidur adalah hobi baruku yang bikin candu. Saat kau tak ada, hal ini yang sering membuatku rindu. Nafasmu menghela lembut satu-satu. Kadang kulekatkan wajahku di sana. Ada hangat yang mengalir dari tubuhmu. Memberi riang tersendiri yang membuatku geli. Kau, yang sedang dipeluk mimpi begitu menggemaskan dalam sadar yang hilang. Ingin kuciumi keningmu perlahan tapi aku tak tega mengusir mimpi-mimpimu yang bergelayutan dalam bawah sadar yang mungkin begitu menyenangkan.

Kau masih diam. Wajahmu damai dalam beribu kata-kata yang tak mampu kueja. Aku mencintaimu lebih banyak dari yang dijanjikan mimpi-mimpi. Dan memandangimu adalah cara sederhana mensyukuri hadirmu yang datang tanpa pertanda. Yang menetap di hati atas nama penawar luka.

Gambar

Aku masih dalam pelukan. Kau terlelap dalam mimpimu sendiri. Malam dininabobokkan hujan dalam rintik yang kugemari. Cahaya lampu bependar di jendela. Tidurlah dalam bahagia, Tuan. Saat bangun ingatlah kelak kau akan tahu bahwa mimpimu tak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan nyataku  saat melihat pipi dan bahumu berguncang saat tertawa.

*Happy Birthday Mr.Z – 05 June 2014* 

Many happy returns 🙂

Isi Kepala

Hovering Around
Adalah burung gereja yang tersesat di antara gedung-gedung pencakar langit.

Matanya menyala bersama pagi, sayapnya adalah nyali yang menentang tinggi.

Maut terlalu takut menyerang, waktu terlalu renta menghadang.

Sebab, pikiran kita tidak sedang belajar terbang.

Tapi mencoba bagaimana menyaksikan dunia dengan lapang,

dan berpijak dengan tenang, karena hanya bumi tempatnya pulang.

Antara

aku ini makhluk antara

hadirku sia-sia

dijadikan sebuah jeda

perhatianku dianggap percuma

aku ini makhluk sementara

bukan syahdan

hanya teman kembara

hingga kamu mengakhiri perjalanan

sedang kamu adalah akhir

bagiku, yang sudi kau jadikan mampir

Pada Suatu Sore

Books_Tea_Photography_large
kembali lagi kita, setahun setelah lalu

kursi masih kaku kita masih menyusun kata tanya.

apa yang berbeda dari kemarin, tanyamu.

lalu pramusaji datang, pesanan kita tiba.

masih sama.

sementara tanganmu mengaduk teh, seolah menarik kembali waktu.

pukul empat sore, meja nomor empat pinggir jendela.

kamu tersenyum,

aku tertawa.

waktu tak pernah mundur, kita yang tak pernah maju

jika ada yang tak berubah, mungkin kita

jika ada yang menjadikan kita bodoh, mungkin cinta

yang masih ada.

Kepada Malam

full moon rising

Kepada malam,
Surat ini tak akan panjang. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa bulan sebenarnya tidak kemana-mana. Dia dipermainkan pagi dalam luka orang-orang pinggiran.

Sudahlah malam. Kau dan pekatmu terlalu buta melihat segala terang. Gulitamu disembunyikan kesedihan yang belum sembuh benar diperkosa harapan. Hentikan acuhmu terhadap bintang yang mencoba menghibur. Tak ada gunanya mengutuk diri sendiri atas dosa yang disebabkan para pemberi harapan.

Suratku tidak bisa terlalu panjang. Pagi akan memerintahkan kedamaian untuk kembali menafkahi hati-hati yang diselimuti semu. Dan, aku masih akan merindumu dalam kerangkeng bernama waktu. Ingat, jika surat ini sampai benar di tanganmu. Balas saja dengan sekantong angin selatan yang kau tiup melalui hujan.

Dari aku,

Matahari Jam 5 Pagi.

Lelaki di Seberang Meja

coffeee
Isi gelasmu tinggal setengah. Senyummu penuh seperti matahari musim semi. Matamu, matamu tempat semua bahagia menari-nari dalam satu wujud: senyumku.

Kita berbagi percakapan diiringi lagu-lagu cinta kampungan yang maknanya habis dilucuti zaman. Ada bahagia yang bertebaran dari lantai hingga langit-langit kafe ini. Dinginnya suhu tak lagi terasa karena kita berbagi cerita dengan hangat. Membuatku tak butuh selimut untuk menghalau cuaca dingin setelah hujan.

Kau sibuk dengan bahagiamu. Meja di antara kita mendadak sedemikian luasnya. Karena padamu jarak sedikit apapun membuatku gelisah. Aku tak ingin perpisahan walau sebatas hasta. Aku ingin kau melekat tanpa perlu digapai. Iya. Sayangnya, aku senorak itu.

lonely chocolate
Kau yang di seberang meja. Menyeruput sisa cokelat hangat yang tak lagi nikmat. Tawamu memecah debar. Seiring rasa syukur yang mengalir tak habis-habis.

Dan suatu hari nanti cinta memuai tak semudah ini, maukah kau berjanji untuk berjuang menemukan hangatnya lagi?

Untuk kau, yang terlalu sakral untuk kusebut namanya.

Perempuan Bermata Pagi

Tak pernah kulihat sepasang mata yang sehangat pagi hari. Perempuan yang hatinya memar ini membanjiri cerita hanya dalam sekali pandang. Tubuhnya lunglai dibantai hidup yang mengkhianatinya siang malam. 

Siang itu kami duduk bertiga di dalam mobil yang melaju. Menonton langit yang jenaka karena awan-awan berdrama dengan lucu berganti wajah. Tak ada terik yang terlalu, hanya ada seekor burung yang terbang rendah malu-malu. Perempuan yang hatinya sepi ini memilin rambutnya. Warnanya hitam, kontras dengan pipinya yang bersemu merah jambu. Bibirnya semerah mawar, matanya ceria seperti awal hari. Dia bercerita tentang pergumulan hatinya sambil sesekali membelai lembut putri kecil dalam dekapannya.

 Gambar

Perempuan ini, yang matanya sehangat pagi sudah berkali-kali diperkosa kehidupan. Tak jarang dia menangisi cinta yang salah, tak jarang juga dia mencumbu derita di balik luka-luka lama.

“I need to go home.”

“Go.”

“But what is home?”

Aku tak bisa menjawab. Pengertian rumah memang terlalu subjektif untuk manusia-manusia terluka. Aku tak punya jawaban untuk sepotong tanya yang sederhana. Aku memandangi punggungnya. Tak ada apa-apa di sana selain kemudaan yang seharusnya tak memikul puluhan derita.

Tak ada yang tahu bahwa muram bisa karam karena hal yang sederhana.

“Hey, I know what is home.”

“What?”

“Place where your smile belongs.”

Untuk Ayu; perempuan tabah bermata pagi